Langsung ke konten utama

PENEGAKAN HUKUM KONVENSIONAL



PENEGAKAN HUKUM KONVENSIONAL
Oleh: Ilham Dwi Rafiqi

Pendahuluan
Problematika penegakan hukum (law enforcement) merupakan hal yang akan terus dikaji, hal ini dikarenakan bahwa wajah hukum di suatu negara dapat dinilai berdasarkan kualitas penegakan hukumnya. Menurut Artidjo Alkostar (2012), bahwa apabila penegakan hukum di suatu negara tidak dapat diciptakan, maka kewibawaan negara tersebut pun runtuh. Oleh karena itu, penegakan hukum merupakan titik krusial dalam pengamalan supremasi hukum dan keadilan.
Di Indonesia, apabila berbicara tentang lembaga penegakan hukum ialah meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lain sebagainya. Penegakan hukum di Indonesia sangat tergantung pada sepak terjang aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim). Karena itu, cara berhukum, konsep atau metode berpikir aparat penegak hukum menentukan tercapainya penegakan hukum yang berkeadilan. Oleh Ahmad Ali (2001:74) dikatakan bahwa permasalahan yang esensial dalam penegakan hukum di Indonesia bukan hanya semata-mata terhadap produk hukum yang tidak responsif, melainkan juga berasal dari faktor aparat penegak hukumnya. Untuk meletakkan pondasi penegakan hukum, maka pilar yang utama adalah penegak hukum yang mampu menjalankan tugasnya dengan integritas dan dedikasi yang baik. Karena sepanjang sapu kotor belum dibersihkan, maka setiap pembicaraan tentang keadilan akan menjadi omong kosong belaka, as long as the dirty broom is not cleaned, any talk of justice will be empty.
Pemikiran ataupun praktek hukum konvensional merupakan salah satu hambatan dalam menciptakan hukum yang adil dan membahagiakan. Dinyatakan oleh Jeremy Bentham (1997:83), bahwa tujuan hukum adalah untuk “the greatest happiness for the greatest number of people”. Cara berhukum yang konvensional, seperti penegakan hukum secara formal dan rasional belum tentu akan menciptakan hukum yang berkeadilan, hukum bukanlah persoalan rasional atau formal semata, melainkan lebih jauh ingin menegakkan keadilan demi kebahagiaan manusia. Satjipto Rahardjo (2008:12) juga berpendapat, “hukum tidak boleh menganggap, bahwa pekerjaannya sudah selesai dengan cara seperti itu (sikap rasionalitas diatas segalanya), apalagi dengan kredo rasionalitas diatas segalanya”. Bukan rasionalitas, namun kebahagiaanlah yang hendaknya ditempatkan diatas segalanya.
Kita meyakini bahwa pandangan legalitas formal telah mendominasi pemikiran para penegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi undang-undang maka itulah yang akan menjadi hukumnya. Para penegak hukum yang terjebak dalam diktum undang-undang tidak akan mampu menciptakan hukum yang berkeadilan, terlebih lagi keadilan substantif (substantive justice). Bukankah menegakkan hukum tidak sekedar menerapkan teks undang-undang ?
Praktek hukum yang demikian sudah menjadi tradisi dalam penegakan hukum di Indonesia. Sebagian besar proses pelaksanaan penegakan hukum masih bersifat kaku, dan masih terjebak dalam orientasi formal (procedural justice). Penegakan hukum yang cenderung mengedepankan kepastian hukum dari pada keadilan, kaku, dan tidak diskresi tersebut merupakan cara berhukum yang konvensional.
Realitas penegakan hukum dewasa ini, dengan segala persoalan dan potret negatifnya, tidak cukup apabila hanya ditangai dengan cara berhukum yang konvensional. Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan lain sebagainya, menuntut para penegak hukum bertindak secara lebih afirmatif (affirmatif law enforcement), menurut Satjipto Rahardjo (2009:141-142) afirmatif berarti keberanian untuk melakukan pembebasan dari praktek konvensional dan menegaskan penggunaan satu cara yang lain. Langkah afirmatif tersebut akan menimbulkan lekukan-lekukan dalam praktek tipe liberal. Istilah yang lebih populer adalah melakukan terobosan.
Hari ini adalah era kebangkitan, pergeseran ataupun perubahan paradigma dalam penegakan hukum adalah mutlak dilakukan. Penegak hukum harus berani keluar dari cara ‘berhukum konvensional’, menekankan anti-kemapanan, dan menolak status quo dalam berhukum. Oleh karena itu, berpikir dan bertindak secara progresif itu adalah solusinya!

Menuju Penegakan Hukum Progresif
Kehadiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Penegak hukum yang terjebak dalam paham positivisme, berhukum hanya terpaku pada teks dalam undang-undang mengakibatkan kekecewaan yang kemudian melahirkan gerakan hukum progresif. Menurut Satjipto Rahardjo (2005:3) yang merupakan begawan sosiologi hukum Indonesia dan juga sebagai pencetus gagasan hukum progresif, menyatakan bahwa gerakan hukum progresif merupakan bagian dari proses searching for the truth (pencarian kebenaran) dan searching for justice (pencarian keadilan) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia pada akhir abad ke-20.
Menurut Satjipto Rahardjo (2009:ix), semenjak hukum modern digunakan, pengadilan bukan lagi tempat untuk mencari keadilan (searching of justice), melainkan menjadi lembaga yang berkutat pada aturan main dan prosedur. Hukum kemudian dipahami semata-mata sebagai produk dari negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, maka bagi Satjipto Rahardjo (2010:vii), hukum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme), namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan.
Upaya-upaya progresif dalam penegakan hukum mendorong Satjipto Rahardjo melahirkan konsep ‘penegakan hukum progresif’. Menurut Satjipto Rahardjo (2009:xiii), penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan.
Satjipto Rahardjo (2003:xv) berpendapat, bahwa peraturan hukum itu hanya kata-kata dan rumusan di atas kertas tapi nyaris tidak berdaya sama sekali, sehingga sering disebut sebagai “black letter law”, “law on paper” dan “law in the book”. Menurutnya hukum hanya bisa menjadi kenyataan dan janji-janji dalam hukum terwujud, apabila ada campur tangan manusia. Menurut Satjipto Rahardjo hukum progresif yang bertumpuh pada rules and behavior, menempatkan manusia untuk tidak terbelenggu oleh tali kekang rules secara absolute. Itulah sebabnya, ketika terjadi perubahan, ketika teks-teks hukum mengalami keterlambatan atas nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, penegak hukum tidak boleh hanya membiarkan diri terbelenggu oleh tali kekang rules yang sudah tidak relevan tersebut, tetapi harus melihat keluar (out world), melihat konteks sosial yang sedang berubah tersebut dalam membuat keputusan-keputusan hukum. Berangkat dari pernyataan tersebut, kita menyadari bahwa hukum tidak bisa terlepas dari cirinya yang normatif sebagai rules, tetapi hukum juga sebagai suatu perilaku (behavior). Oleh karena itu, bekerjanya hukum dipengaruhi oleh manusia-manusia yang menjalankan hukum dan juga aspek-aspek nonhukum yang ada.
Berfikir secara progresif, menurut Satjipto Rahardjo (dalam Faisal, 2010:90) berarti harus berani keluar dari pemikiran absolutisme hukum, kemudian menempatkan hukum dalam posisi yang relatif. Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusiaan. Menuju cara berhukum Progresif adalah suatu kerelaan dan kesediaan untuk membebaskan diri dari paham legal-positivistis. Ide tentang pembebasan diri tersebut berkaitan erat dengan faktor psikologis yang ada dalam diri para penegak hukum yaitu keberanian. Faktor keberanian tersebut memperluas cara berhukum yaitu tidak hanya mengedepankan aspek peraturan (rule), tetapi juga aspek perilaku (behavior).
Uraian di atas menegaskan, bahwa menggunakan cara berhukum yang konvensional bukan merupakan solusi dalam mengatasi kompleksitas persoalan penegakan hukum. Penegak hukum diharapkan mampu berpikir dan bertindak secara progresif demi menghadirkan keadilan substantif. Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif, interpretasi, terobosan hukum (rule breaking), diskresi, dan lain sebagainya adalah merupakan wujud dalam upaya pembebasan dari praktek hukum yang konvenisonal.

Referensi :
Ahmad Ali, Keterpurukan hukum di Indonesia: Penyebab dan solusinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001).

Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, (Yogyakarta: Rangkang Education, 2010).

Jeremy Bentham, Cevendish Law Cards Jurisprudence, (London: Cavendish Publishing, 1997).

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: sebuah Sintesa Hukum Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009).

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008).

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009).

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010).

Satjipto Rahardjo, Sisi­sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DISFUNGSI HUKUM DALAM KONTESTASI POLITIK 2019 Oleh: Ilham Dwi Rafiqi Sejak genderang politik telah ditabuh, situasi sosial politik di Indonesia kian memanas. Gelar pentas demokrasi yang menyuguhkan berbagai intrik dan polemik seolah semakin mempertegas akan carut marutnya pelaksanaan demokrasi di negeri ini. Realitas objektif yang tampak dalam kontestasi politik tahun 2019 adalah rivalitas negatif, sentimen identitas, dan politisasi berbagi isu oleh masing-masing kubu. Beberapa kenyataan dapat digunakan sebagai justifikasi teoritis maupun praktis bahwa pesta demokrasi di Indonesia tidak layak untuk dibanggakan. Beberapa kalangan berbicara tentang pemilihan umum jujur dan adil (Jurdil), tapi kenyataan yang muncul adalah sebaliknya. Salah satu fenomena yang menjadi sorotan saat ini adalah bukan lagi tentang perang tagar ( hastag ) melainkan politisasi hukum yang digunakan sebagai senjata politik. Kenyataan ‘lapor-melapor’ antar kontestan dengan dalil penodaan agama, pencema

HABIS MUDIK TERBITLAH URBANISASI

HABIS MUDIK TERBITLAH URBANISASI [1] Oleh: Ilham Dwi Rafiqi Pendahuluan Hajatan tahunan “mudik”, telah menjadi tradisi bagi bangsa Indonesia. Tradisi ini juga merupakan salah satu akibat migrasi penduduk dari desa ke kota yang berkembang menjadi urbanisasi. Menurut Yudo Harjoko (2010), urbanisasi dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan masyarakat dan kawasan dalam suatu wilayah yang non-urban menjadi urban. Arus balik yang terjadi pasca Idul Fitri setiap tahun selalu dikaitkan dengan fenomena urbanisasi. Meningkatnya aktivitas urbanisasi menjadi problematika berkepanjangan, ketimpangan antara kota dan pedesaan memaksa laju urbanisasi yang tidak dapat terelakkan. Di Indonesia, gejala urbanisasi mulai tampak menonjol sejak tahun 1970-an, disaat pembangunan sedang digalakkan, terutama di kota-kota besar. Arus urbanisasi terkonsentrasi di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan kota besar lainnya. Urbanisasi lahir dari permasalahan ekonom