Langsung ke konten utama

HABIS MUDIK TERBITLAH URBANISASI



HABIS MUDIK TERBITLAH URBANISASI[1]
Oleh: Ilham Dwi Rafiqi

Pendahuluan
Hajatan tahunan “mudik”, telah menjadi tradisi bagi bangsa Indonesia. Tradisi ini juga merupakan salah satu akibat migrasi penduduk dari desa ke kota yang berkembang menjadi urbanisasi. Menurut Yudo Harjoko (2010), urbanisasi dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan masyarakat dan kawasan dalam suatu wilayah yang non-urban menjadi urban. Arus balik yang terjadi pasca Idul Fitri setiap tahun selalu dikaitkan dengan fenomena urbanisasi. Meningkatnya aktivitas urbanisasi menjadi problematika berkepanjangan, ketimpangan antara kota dan pedesaan memaksa laju urbanisasi yang tidak dapat terelakkan.
Di Indonesia, gejala urbanisasi mulai tampak menonjol sejak tahun 1970-an, disaat pembangunan sedang digalakkan, terutama di kota-kota besar. Arus urbanisasi terkonsentrasi di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan kota besar lainnya. Urbanisasi lahir dari permasalahan ekonomi yang umumnya biasa terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Kasto (2002) bahwa faktor ekonomi merupakan determinan mobilitas penduduk yang utama, yang berkaitan dengan kekuatan sentripetal dan sentrifugal di daerah asal. Kekuatan ini mempunyai daya dorong yang cukup besar dan sulit dibendung. Oleh karena itu migrasi desa kota (urbanisasi) selalu berkaitan dengan masalah kemiskinan dan pengangguran di perkotaan serta masalah perkembangan daerah pinggiran kota.
Urbanisasi dipicu adanya perbedaan pertumbuhan atau ketidakmerataan fasilitas-fasilitas dari pembangunan, khususnya antara daerah pedesaan dan perkotaan. Akibatnya, wilayah perkotaan menjadi magnet menarik bagi kaum urban untuk mencari pekerjaan. Hal ini tentunya dapat menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan di dalam masyarakat. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak hukum, dan lain sebagainya tentu adalah suatu masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.
Urbanisasi yang berlebih mengakibatkan kondisi perkotaan semakin tidak terkendali, hal tersebut menimbulkan berbagai masalah baru seperti meningkatnya kriminalitas akibat kemiskinan, pengangguran besar-besaran, dan bertambahnya pemukiman kumuh. Adapun menurut Keban (2002), proses urbanisasi yang tidak terkendali dan adanya hirarki kota akan menimbulkan berbagai akibat negatif  yaitu munculnya gejala kemiskinan di perkotaan, ketimpangan income perkapita, pengangguran, kriminalitas, polusi udara dan suara, pertumbuhan daerah kumuh, dan lain sebagainya. Dengan demikian, perlu kiranya solusi-solusi untuk dapat menangani urbanisasi.

Optimalisasi Operasi Yustisi
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2003 Tentang Pedoman Operasional Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah dalam Penegakan Peraturan daerah, Bab I Pasal 1 butir 8 menyebutkan, “Yustisi adalah operasi penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Perundang-undangan yang dilakukan PPNS secara terpadu dengan sistem peradilan di tempat”.
Kaitannya dengan fenomena urbanisasi, operasi yustisi yang dilakukan adalah berupa Operasi Yustisi Kependudukan (OYK). Tujuan dilakukan operasi yustisi kependudukan ini adalah tidak lain untuk memberikan efek jera kepada penduduk yang tidak tertib administrasi kependudukan. Selain itu, operasi yustisi kependudukan dilaksanakan untuk menguji kepatuhan penduduk terhadap kewajiban memiliki dokumen kependudukan yang benar dan lengkap berdasarkan UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Operasi tersebut seringkali ditujukan di tempat-tempat keramaian yang dianggap menjadi pusat kegiatan penduduk, atau tempat yang dipandang perlu.
Dengan adanya arus balik pasca Idul Fitri, sebagai sebuah langkah penertiban maka kegiatan operasi yustisi kependudukan intensif dilakukan. Operasi tersebut tidak hanya menjaring pendatang baru yang tidak memenuhi ketentuan, seperti; tidak memiliki surat pindah, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, tidak ada penjamin, dan tidak jelas pekerjaannya. Akan tetapi juga menjaring masyarakat yang mempunyai KTP namun sudah kadaluarsa, tidak sesuai domisili, dan sebagainya.
Operasi yustisi kependudukan seringkali hanya dilakukan intensif saat adanya arus balik pasca Idul Fitri, namun tidak dilakukan secara rutin tiap bulannya. Gejala sosial seperti halnya urbanisasi tidak cukup hanya ditangani dalam bulan-bulan tertentu (pasca lebaran), perlu upaya yang sistematis, terkoodinir, dan secara masif dilakukan. Maka operasi yustisi kependudukan perlu dioptimalkan kembali agar dapat mewujudkan tujuan yang diharapkan.

Daftar Inventarisasi Solusi (DIS)
Munculnya urbanisasi sebagai suatu gejala sosial sudah barang tentu disebabkan karna berbagai faktor. Masalah klasik yang dihadapi berkaitan dengan urbanisasi selalu pada “urbanisasi tidak terkendali”. Menyadari komplesitas persoalan urbanisasi, maka perlu disajikan berbagai macam bentuk solusi-solusi, yang diantaranya: (1) Memaksimalkan otonomi daerah; (2) pembangunan dari desa; (3) reforma agraria; (4) perbaikan perekonomian; dan (5) pemerintah dapat membuat kebijakan yang mengatur mengenai masalah urbanisasi dan lain sebagainya.
Pertama, daerah sejatinya merupak ujung tombak dari kemajuan perekonomian di suatu negara. Adanya otonomi daerah diharapkan dapat mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah. Upaya konstruktif untuk pemerataan pembangunan daerah, juga diharapkan mampu membangun daerah menjadi lebih baik dan merata sehingga tidak tertinggal dari daerah perkotaan. Oleh karena itu, pemerintah daerah dalam melaksanakan otonominya hendaknya memperhatikan kesejahteraan masyarakat daerah. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui beberapa hal, misalnya; pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, penanggulangan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, meningkatkan perekonomian daerah, sosialisasi dan lain sebagainya. Dengan ini, migrasi yang dilakukan masyarakat desa ke kota dapat diminimalisir.
Kedua, pembangunan desa dianggap menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah urbanisasi. Tindakan yang dapat dilakukan terkait pembanguan dari desa dapat meliputi; pembangunan infrastruktur pedesaan, pemberian dana desa, penataan desa, meningkatkan sumber daya manusia di pedesaan dan lain sebagainya. Hal tersebut diharapkan dapat mempercepat kesejahteraan masyarakat, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan sekaligus meningkatkan daya saing desa.
Ketiga, menurut Sutarto (2007) reforma agraria tidak boleh dipahami sebagai proyek bagi-bagi tanah semata, tetapi harus diorientasikan pada upaya peningkatan kesejahteraan petani serta revitalisasi pertanian dan pedesaan secara menyeluruh. Untuk itu selain harus merupakan upaya penataan struktur untuk menjamin hak rakyat atas sumber-sumber agraria melalui land reform, reforma agraria harus merupakan upaya pembangunan lebih luas yang melibatkan multi-pihak untuk menjamin agar aset tanah yang telah diberikan dapat berkembang secara produktif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, dapat diyakini bahwa reforma agraria merupakan salah satu wujud kebijakan pemerintah untuk meminimalisir arus urbanisasi.
Keempat, persoalan ekonomi dianggap sebagai faktor utama yang menjadi pendorong arus urbanisasi. Besarnya arus urbanisasi sebagai akibat kesenjangan kondisi sosial ekonomi yang cukup menonjol antara daerah pedesaan dengan perkotaan. Dengan demikian, perbaikan ekonomi suatu negara merupakan hal yang esensi untuk dapat menangani fenomena urbanisasi.
Kelima, melihat akibat yang ditimbuklan urbanisasi sangat kompleks, maka untuk menanggulangi urbanisasi tidak hanya cukup dilakukan secara sektoral, namun harus lintas sektor ataupun nasional. Salah satu bentuk penanggulangan urbanisasi nasional jangka pendek adalah membuat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan migrasi. Berkaitan dengan hal tersebut, fungsi hukum sebagai rekayasa sosial (a tool of engineering) yang semakin penting dalam era pembangunan, ditegaskan oleh Mochtar kusumaatmadja seperti dikutip oleh Soleman B. Taneko (1993: 36) mengemukakan bahwa “di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembangunan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan merupakan suatu yang dianggap penting dan sangat diperlukan. Di samping itu, hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi untuk menyalurkan arah-arah kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan tersebut. Sudah tentu bahwa fungsi hukum di atas sayogianya dilakukan, di damping fungsi hukum sebagai sistem pengendalian sosial”. Maka perlu diingat, bahwa setiap pembuatan produk hukum harus bertujuan akan keadilan serta kemanfaatan pada masyarakat.

Referensi :



Abbas, Ardi. 2002. Diktat Untuk Kalangan Sendiri: Sosiologi Perkotaan, Padang : Jurusan Sosiologi Universitas Andalas, Padang.

Kasto, 2002. Mobilitas penduduk dan dampaknya Terhadap Pembangunan Daerah dalam Mobilitas Penduduk Indonesia; Tinjauan Lintas Disiplin. PSKK UGM, Yogyakarta.

Taneko, Soleman B. 1993. Pokok-pokok Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Raja Grapindo Persada.


[1] Topik Editorial Media Indonesia, Metro TV, 02 Juli 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENEGAKAN HUKUM KONVENSIONAL

PENEGAKAN HUKUM KONVENSIONAL Oleh: Ilham Dwi Rafiqi Pendahuluan Problematika penegakan hukum (law enforcement) merupakan hal yang akan terus dikaji, hal ini dikarenakan bahwa wajah hukum di suatu negara dapat dinilai berdasarkan kualitas penegakan hukumnya. Menurut Artidjo Alkostar (2012), bahwa apabila penegakan hukum di suatu negara tidak dapat diciptakan, maka kewibawaan negara tersebut pun runtuh. Oleh karena itu, penegakan hukum merupakan titik krusial dalam pengamalan supremasi hukum dan keadilan. Di Indonesia, apabila berbicara tentang lembaga penegakan hukum ialah meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lain sebagainya. Penegakan hukum di Indonesia sangat tergantung pada sepak terjang aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim). Karena itu, cara berhukum, konsep atau metode berpikir aparat penegak hukum menentukan tercapainya penegakan hukum yang berkeadilan. Oleh Ahmad Ali (2001:74) dikatakan bahwa permasalahan yang esensial dalam penegakan hukum di
DISFUNGSI HUKUM DALAM KONTESTASI POLITIK 2019 Oleh: Ilham Dwi Rafiqi Sejak genderang politik telah ditabuh, situasi sosial politik di Indonesia kian memanas. Gelar pentas demokrasi yang menyuguhkan berbagai intrik dan polemik seolah semakin mempertegas akan carut marutnya pelaksanaan demokrasi di negeri ini. Realitas objektif yang tampak dalam kontestasi politik tahun 2019 adalah rivalitas negatif, sentimen identitas, dan politisasi berbagi isu oleh masing-masing kubu. Beberapa kenyataan dapat digunakan sebagai justifikasi teoritis maupun praktis bahwa pesta demokrasi di Indonesia tidak layak untuk dibanggakan. Beberapa kalangan berbicara tentang pemilihan umum jujur dan adil (Jurdil), tapi kenyataan yang muncul adalah sebaliknya. Salah satu fenomena yang menjadi sorotan saat ini adalah bukan lagi tentang perang tagar ( hastag ) melainkan politisasi hukum yang digunakan sebagai senjata politik. Kenyataan ‘lapor-melapor’ antar kontestan dengan dalil penodaan agama, pencema